Brand Switching Analysis dal am Bisnis Ritel Modern di Indonesia


MARKETING.co.id – Dalam periode enam tahun terakhir, dari tahun 2007–2012, jumlah gerai ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 17,57% per tahun. Pada tahun 2007, jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebanyak 10.365 gerai, kemudian pada tahun 2011 mencapai 18.152 gerai tersebar di hampir seluruh kota di Indonesia. Pertumbuhan jumlah gerai tersebut tentu saja diikuti dengan pertumbuhan penjualan. Menurut Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo), pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia antara 10%–15% per tahun. Penjualan ritel pada tahun 2006 masih sebesar Rp49 triliun, dan melesat hingga mencapai Rp120 triliun pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012, pertumbuhan ritel diperkirakan masih sama, yaitu 10%–15%, atau mencapai Rp138 triliun. Jumlah pendapatan terbesar merupakan kontribusi dari hipermarket, kemudian disusul oleh minimarket dan supermarket.

Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa dengan total konsumsi sekitar Rp3.600-an triliun merupakan pasar potensial bagi bisnis ritel modern. Ini didukung oleh perilaku berbelanja penduduk Indonesia yang sudah mulai bergeser, dari berbelanja di pasar tradisional menuju ritel modern.

Dengan dibukanya pintu masuk bagi para peritel asing sebagaimana Keputusan Presiden No. 118/2000 yang telah mengeluarkan bisnis ritel dari negative list bagi penanaman modal asing (PMA), sejak itu ritel asing mulai marak masuk ke Indonesia. Masuknya ritel asing dalam bisnis ini menunjukkan bisnis ini sangat menguntungkan. Namun di sisi lain, masuknya hipermarket asing yang semakin ekspansif memperluas jaringan gerainya, dapat menjadi ancaman bagi peritel lokal. Peritel asing tidak hanya membuka gerai di Jakarta. Misalnya Carrefour, dalam enam tahun belakangan sudah merambah ke luar Jakarta, termasuk ke Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Palembang, dan Makassar.

Semakin maraknya ritel modern tentu saja menimbulkan persaingan sesama ritel modern tersebut. Selain itu, maraknya ritel modern memudahkan konsumen untuk memilih ritel yang disukai dan cocok dengan keinginan konsumen. Sehingga konsumen dengan mudah bisa berganti ritel modern yang dikunjungi, atau tetap loyal dengan satu ritel karena sudah merasa cocok.

Survei Top Brand yang mengukur tiga parameter, yaitu TOM BA, last usage, dan future intention, selain digunakan untuk mengetahui Top Brand Index, bisa juga digunakan untuk mengetahui perilaku switchingkonsumen. Berikut ditampilkan perilaku switching konsumen berdasarkan hasil survei Top Brand 2012, atribut last usage dan future intention, untuk kategori hipermarket, supermarket, dan minimarket.

Berdasarkan brand switching analysis di atas, terlihat bahwa Carrefour, Hypermart, dan Lotte Mart merupakan merek yang diprediksikan akan bertambah jumlah pengunjungnya di masa mendatang. Angka net switching ketiga merek tersebut positif. Jumlah pengunjung merek lain yang akan berganti mengunjungi ketiga merek tersebut (switching in) lebih banyak dari pengunjung merek tersebut yang akan berpindah menggunakan merek lain (switching out). Sebaliknya, Giant, Superindo, dan Brastagi, net switching ketiga merek tersebut bernilai negatif.

Bagaimana dengan supermarket? Berdasarkan brand switching analysisdi atas, terlihat bahwa Hero merupakan satu-satunya merek yang diprediksikan akan bertambah jumlah pengunjungnya di masa mendatang. Angka net switching merek tersebut positif. Jumlah pengunjung merek lain yang akan berganti mengunjungi Hero (switching in) lebih banyak dari pengunjung Hero yang akan berpindah mengunjungi merek lain (switching out). Sebaliknya, Superindo, Griya, dan Tip-top, net switching ketiga merek tersebut bernilai negatif. Sedangkan ADA diprediksikan stagnan.

Kemudian untuk minimarket, berdasarkan brand switching analysis di atas, terlihat bahwa Alfamart, Yomart, dan 7-eleven merupakan merek yang diprediksikan akan bertambah jumlah pengunjungnya di masa mendatang. Angka net switching ketiga merek tersebut positif. Jumlah pengunjung merek lain yang akan berganti mengunjungi ketiga merek tersebut (switching in) lebih banyak dari pengunjung ketiga merek tersebut yang akan berpindah mengunjungi merek lain (switching out). Sebaliknya, Indomaret dan Alfamidi, net switching kedua merek tersebut bernilai negatif.

Bagi merek-merek yang memiliki net switching negatif harus berhati-hati dan berusaha melakukan improvement agar prediksi tersebut tidak terjadi. Demikian juga dengan merek yang sudah memiliki angka net switching positif, mereka harus mempertahankan atau meningkatkan performance mereka sehingga prediksi dari brand switching analysis tersebut benar-benar terjadi. (Apipudin, Data Analyst Manager, Frontier Consulting Group)


Leave a Reply